hijrah oleh muhammadun AS
Hijrah dan Kosmopolitanisme Peradaban
Oleh Muhammadun AS
Rabu, 9 Januari 2008
Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah menuju Madinah
merupakan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam
hijrah, Nabi yang ditemani sahabatnya, Abu Bakar, tampil
sebagai pemimpin yang sukses mencipta strategi pemikiran
dalam memecahkan situasi yang sulit. M Husain Haikal
dalam Hayat Muhammad (1972) bahkan melihat hijrah
sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang
pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang
penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman.
Adegan demi adegan yang dilakoni Nabi dan Abu Bakar
menyiratkan sebuah kosmopolitanisme peradaban yang
sedang diletakkan Nabi di Semenanjung Arabia.
Kosmopolitanisme peradaban yang diciptakan Nabi dipoles
dengan nilai-nilai universal yang tertancap dalam
seluruh ajaran Islam. Peristiwa hijrah, yang oleh Umar
bin Khattab dijadikan sebagai peletak dasar tahun Islam,
telah melompatkan ruang kesadaran umat Islam dalam
penciptaan peradaban agung yang dipelopori Nabi
Muhammad.
Kalau di Mekkah Nabi lebih banyak disibukkan dengan
berbagai konflik dengan kaum Quraisy Mekkah, maka di
Madinah Nabi memulai babakan kehidupan baru dalam menata
kehidupan sosial, politik, dan kenegaraan. Nabi membuat
persaudaraan (al-ikho) antarumat Islam, mencipta Piagam
Madinah (Mitsaqu al-Madinah) untuk membangun harmoni
sosial dengan seluruh suku dan agama di Madinah, dan
mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Seluruh adegan
sejarah yang dijalankan Nabi mencerminkan sebuah
kosmopolitanisme peradaban, yang oleh Robert N Bellah
dikatakan modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran
Timur Tengah waktu itu.
Dalam memahami universalisme Islam, menurut Abdurrahman
Wahid (2007) ada lima buah jaminan dasar yang diberikan
Islam kepada individu dan kelompok masyarakat. Kelima
jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum Islam
(al-kutub al-fiqhiyyah), yakni jaminan dasar akan;
pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan hukum. Kedua,
keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama. Ketiga, keselamatan
keluarga dan keturunan. Keempat, keselamatan harta benda
dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima,
keselamatan profesi.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut
menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan
bulat. Pemerintah berdasarkan hukum, persamaan derajat
dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan
adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan
demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun,
kelima jaminan dasar tersebut hanya tercipta dalam
kerangka teoritik belaka, belum bisa berfungsi kalau
tidak didukung dengan spirit kosmopolitanisme peradaban
Islam. Watak kosmopolitanisme peradaban Islam dapat kita
baca dari spirit peradaban Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad. Di Madinah inilah Muhammad menjadikan Madinah
sebagai kota kosmopolitan yang serba leluasa menyerap
unsur peradaban lain yang bisa membuka cakrawala
pemikiran Islam. Islam begitu berani menyerap sisa-sisa
warisan peradaban Yunani Kuno yang berupa Hellenisme,
peradan Romawi, peradaban Mesir, peradaban Persia, dan
bahkan peradaban anak benua India dan peradaban China.
Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah
unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya
pluralitas budaya dan heteroginitas politik.
Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur
dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang
eklektik selama berabad-abad. Dalam konteks inilah,
warisan Nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi
dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam.
Pernyataan Robert N Bellah yang menyebut Madinah sebagai
kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman
waktu itu, karena kondisi sosiologis-geografis waktu
itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur
kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak
salah juga kalau sejarawan agung Arnold J Toynbee
menyebut peradaban Islam sebagai oikumene (peradilan
dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah
salah satu diantara enam belas oikumene yang menguasai
dunia.
Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk
pencerahan di dunia Timur Tengah menjadi jejak utama
lahirnya pencerahan di Barat. Watak-watak Islam yang
terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat
manusia, mencari ciri utama umat Islam dalam merumuskan
sebuah peradaban agung. Lahirlah para arsitek masa depan
Islam yang mencipta ragam keilmuan yang terbentang
lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan
sebagainya. Uniknya, di samping mereka menguasai ragam
keilmuan yang terbentang luas, para intelegensi Muslim
juga menjadi agamawan yang hafal al-Quran dan al-Hadits,
ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf. Lihat
di sana ada al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd,
dan sebagainya.
Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan
Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan
sepanjang masa. Umat Islam Indonesia harus berperan
aktif mewujudkan jejak kosmopolitis tersebut, yakni
dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban.
Dalam spirit inilah akan lahir sebuah pemahaman baru
yang kritis, progresif, dan visioner. Dari pemahaman
inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam
bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas
kreatif. Kaum minoritas kreatif inilah, lanjut Toynbee,
yang nantinya bisa mengubah jarum sejarah peradaban
dunia.
Spirit kosmopolitanisme peradaban yang ditancapkan Nabi
di Madinah harus kita jadikan modal penting dalam
mencipta babak baru kebudayaan dan peradaban di
Indonesia. Karena Indonesia sekarang sedang kehilangan
pijakan nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam
penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban, sehingga
bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa
depan. Momentum hijrah Nabi hendaknya menjadi starting
point penciptaan pijakan nilai yang kokoh, kuat, dan
tangguh, sehingga setiap badai yang akan menerpa
Indonesia bisa ditangkis. Dengan demikian Indonesia bisa
menyejajarkan diri di tengah kompetisi peradaban yang
sangat mengglobal.***
Penulis adalah peneliti Center for Pesantren
and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda